Rabu, 13 Maret 2013

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999


Pelanggaran pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang persekongkolan tender merupakan kasus yang paling sering ditangani oleh KPPU. Kasus tentang persekongkolan tender berjumlah 18 kasus atau 46% dari 43 kasus yang ditangani oleh KPPU dari tanggal 18 Agustus 2010  sampai dengan tanggal 18 November 2011. Dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 menyatakan bahwa : Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Istilah persekongkolan selalu berbau negatif. Hal ini karena persekongkolan bertentangan dengan keadilan dimana kesempatan yang diperoleh oleh setiap penawar atau pengusaha tidaklah sama dalam mendapatkan objek barang dan atau jasa yang ditawarkan atau ditenderkan oleh panitia penyelenggara. Persekongkolan membatasi pengusaha-pengusaha yang mempunyai niat yang baik untuk menawar untuk masuk dalam pasar serta akibat dari persekongkolan adalah harga menjadi tidak kompetitif.
Persekongkolan tender merupakan pelanggaran yang dapat merugikan negara. Mengapa ? Karena banyak persekongkolan tender yang terjadi saat ini dilakukan anatara oknum-oknum pegawai pemerintahan yang bertindak sebagai panitia penyelenggara tender dengan para pemenang tender atau pengusaha yang memang sengaja dimenangkan. Kerugian pada negara terjadi karena dana APBN maupun dana APBD untuk menunjang kegiatan pembangunan yang dikeluarkan tidak bertanggung jawab dan hasil dari persekongkolan tender tersebut adalah kedua-duanya baik oknum panitia penyelenggara maupun pemenang tender memperoleh keuntungan. Persekongkolan tender pada akhirnya mempengaruhi kualitas pembangunan yang dilaksanakan oleh pengusaha pemenang tender dimana biaya yang diperoleh untuk melaksanakan kegiatan pembangunan telah berkurang akibat adanya biaya-biaya yang harus dikeluarkan kepada pihak lain untuk mencapai tujuannya yaitu untuk memenangkan tender.
Dalam hukum persaingan dikenal adanya dua pendekatan, yang pertama adalah per se illegal dan rule of reason. Pendekatan perse illegal dalam pembuktiannya lebih mudah dilakukan karena apabila suatu aktivitas maksud atau tujuannya mempunyai akibat merusak persaingan maka hakim tidak perlu lagi mempermasalahkan apakah masuk akal atau tidak dari peristiwa yang sama sebelum menentukan bahwa peristiwa tersebut merupakan pelanggaran hukum persaingan. Dengan kata lain, perjanjian atau perbuatan yang dilarang dalam per se illegal ditentukan oleh aktivitas yang jelas dilarang, maksud atau tujuan yang dilarang tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.
Pendekatan kedua adalah rule of reason yaitu perjanjian atau kegiatan yang dilarang dimana perbuatan atau kegiatan tersebut menghambat persaingan secara tidak patut atau apabila karakteristik bunyi pasal mempunyai tujuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Pendekatan menggunakan Rule of Reason memang lebih rumit dibandingkan dengan per se illegal karena pembuktian terjadinya praktek monopoli atau persaingan tidak sehat harus memperhatikan semua faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain pencari fakta harus mempertimbangkan dan menentukan apakah  perbuatan tersebut menghambat persaingan dengan menunjukkan akibatnya terhadapa proses persaingan dan apakah perbuatan itu tidak adil atau mempunyai pertimbangan lain. Pertimbangan yang dimaksud antara lain: pertimbangan ekonomi, keadilan, efisiensi, perlindungan terhadap golongan ekonomi tertentu, fairness, pembuktian yang rumit dan lain sebagainya.
Dalam pembuktian dan penyelidikan pada kasus persekongkolan tender pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Rule of Reason. Penggunaan pendekatan ini memaksa KPPU untuk membuktikan ada atau tidaknya dampak dari persekongkolan tender itu menghambat persaingan secara tidak patut atau mempunyai tujuan yang dapat mengakibatkan  terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.

Putusan Majelis KPPU tahun 2004 tentang Tender Penjualan Dua Unit Tanker Pertamina menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero), Goldman Sachs (Singapore) Pt, Frontline Ltd dan PT Perusahaan Pelayaran Equinox terbukti melanggar pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Majelis Komisi berpendapat bahwa pihak-pihak terlapor memenuhi unsur-unsur dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu:
1.      Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi (Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999);
2.      Bersekongkol adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999;
3.      Pihak lain yaitu salah satu atau lebih dari pelaku usaha yang melakukan persekongkolan dengan salah satu atau lebih pelaku usaha;
4.      Mengatur dan atau menentukan pemenang yaitu  tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalah dalam rangka mengatur salah satu pelaku usaha memenangkan tender;
5.      Tender yaitu tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa (pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999)
6.      Mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).

Adapun sanksi yang dikenakan kepada yang melanggar pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah pelaku usaha diperintahkan oleh Majelis Komisi untuk membayar ganti rugi. Penegakan hukum oleh KPPU pada kasus-kasus persekongkolan tender sangatlah sulit karena pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rule of reason. Oleh sebab itu, perlu adanya review terhadap setiap putusan yang dibuat oleh Komisi Majelis sehingga KPPU dapat menganalisa pendekatan manakah yang sesuai digunakan apakah pendekatan Rule Of Reason atau Per Se Illegal. Maka putusan-putusan KPPU tentang pelanggaran pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 haruslah ditambah agar kedepan akan semakin kelihatan pendekatan mana yang lebih cocok diterapkan pada kasus-kasus persekongkolan tender.
            Menyangkut sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu membayar denda menimbulkan satu pertanyaan : Bagaimana seandainya pelaku usaha yang diwajibkan membayar denda tersebut usaha atau perusahaannya dalam kondisi pailit atau bangkrut ? Apakah ada sanksi pengganti seperti yang dikenal dalam kasus-kasus korupsi yakni selain dikenakan denda juga ada kurungan badan ? atau ada sanksi yang lain yang diberikan KPPU kepada pelaku usaha tersebut ?
Melihat situasi diatas persekongkolan tender dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana karena mengandung unsur merugikan negara. Oleh karena itu, perlu adanya pengkajian dan pengembangan ilmu hukum secara teoritis dalam hukum persaingan usaha khususnya pada kasus-kasus persekongkolan tender yang memiliki potensi mengakibatkan kerugian negara.
            Dari penjelasan diatas, maka seyogyanya KPPU terus melakukan review  terhadap putusan-putusan yang berkaitan dengan Pasal 19 huruf (d) dan pasal 22 karena putusan KPPU adalah yurisprudensi atau sebagai sumber hukum yang digunakan untuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan pasal 19 huruf (d) dan pasal 22. Selain itu faktor  penting dan menentukan yang harus dilakukan KPPU adalah bagaimana KPPU menjaga setiap putusan yang telah ditetapkan oleh Majelis Komisi pada tingkat I mendapat dukungan dari Mahkamah Agung sehingga dapat memperkuat setiap putusan-putusan tersebut. Karena bukanlah perkara mudah bagi KPPU membuat jera para pelaku usaha yang nakal terlebih dengan kekuatan finansial yang dimiliki oleh setiap pelaku usaha tersebut. Oleh karena itu kerjasama antara KPPU, MA dan juga dari aparat kepolisian serta lembaga hukum lain yang terkait memegang peranan penting dalam memberantas praktek-praktek diskriminasi dan persekongkolan tender yang jelas-jelas melanggar persaingan usaha yang sehat.  

Pasal 19 huruf (d) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999


Undang-undang nomor 5 tahun 1999 bertujuan mendorong efisiensi ekonomi dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia dengan  melarang keras adanya praktek-praktek persaingan usaha yang tidak sehat serta praktek monopoli.  Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang “penguasaan pasar” menegaskan bahwa Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
  1. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
  2. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
  3. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;atau
  4. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu
Dalam pasal 19 yang dimaksud pelaku-pelaku usaha adalah mereka yang mempunyai pengaruh kuat terhadap pasar yang dengan kekuatannya memudahkan melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat. Kedua, pelaku usaha  yang melakukan kegiatan baik secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama dengan pelaku usaha lain. Pasal 19 huruf (d) melarang adanya praktek-praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha dimana diskriminasi tidak hanya pada harga tetapi juga dalam bentuk penolakan untuk melakukan hubungan usaha, dan atau perlakuan yang dilakukan oleh pelaku usaha kepada pelaku usaha yang lain dengan cara yang tidak sama.
Putusan pada kasus pengadaan 20 (dua puluh) unit Lokomotif CC 204 Tahun 2010 dapat dilihat bahwa telah terjadi praktek diskriminasi yang dilakukan oleh PT Kereta Api (Persero) dengan memberikan perlakuan khusus kepada GE transportation  dan memberikan perlakuan berbeda kepada pihak lain dalam pengadaan lokomotif di PT Kereta Api ( Persero). Indikator yang memenuhi adanya praktek diskriminasi pada kasus ini adalah adanya pelaku usaha yang memiliki posisi dominan atau memiliki pengaruh kuat terhadap pasar; adanya penolakan untuk menjalin hubungan usaha dengan pelaku usaha lain selain dengan GE Transportation. Akibat dari perbuatan diskriminasi yang dilakukan oleh PT Kereta Api (Persero) adalah perusahaan wajib membayar denda. Hal ini berbeda dengan Putusan pada kasus distribusi gula pasir dimana Majelis Komisi berpendapat bahwa PTPN XI, PT Agro Tani Nusantara, PT.Agro Makmur Nusantara,cs. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 19 huruf (a) dan (d) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam kasus ini pihak yang melapor terbukti tidak pernah ditunjuk untuk menjadi investor oleh asosiasi petani karena tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi investor yang ditetapkan oleh asosiasi tersebut.
Berdasarkan putusan yang dibuat oleh Majelis Komisi kepada kedua kasus diatas, dapat dikatakan bahwa usaha untuk membuktikan bahwa praktek diskriminasi telah terjadi sangatlah tergantung kepada setiap kasus. Putusan-putusan atau yurisprudensi yang telah berkekuatan hukum tetap menjadi faktor penting.. Pertimbangan Majelis Komisi mengenai asas keseimbangan dimana baik kepentingan dari pelaku usaha yang didiskriminasi dan kepentingan dari pelaku usaha yang mendiskriminisasi seimbang sangatlah diperlukan. Karena mau tidak mau, suka tidak suka, praktek diskriminasi dalam dunia usaha tidak dapat terhitung lagi. Beberapa contoh praktek-praktek diskriminasi menurut Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2011 adalah :
1.      Penunjukan langsung;
2.      Menolak melakukan hubungan usaha dengan pihak tertentu tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima;
3.      menetapkan persyaratan tertentu yang mengarah kepada perusahaan tertentu tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima;
4.      menetapkan syarat yang berbeda untuk pelaku usaha yang berbeda dalam pasar yang sama tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima;
5.      Menetapkan syarat yang sama untuk pelaku usaha  yang secara ekonomi berbeda kelas.
Unsur-unsur praktek diskriminasi yang harus dipenuhi yang melanggar persaingan usaha yang sehat yang dilakukan baik oleh penjual barang atau jasa (supplier) maupun oleh pelaku usaha yang membeli barang atau jasa tersebut menurut pasal 19 huruf (d) yaitu:
1.      apakah pelaku usaha baik secara sendiri maupun bersama dengan pelaku usaha lain memiliki pengaruh kuat terhadap pasar ?
2.      apakah dengan pengaruh yang kuat terhadap pasar pelaku usaha baik secara sendiri maupun bersama dengan pelaku usaha lain telah menimbulkan praktek-praktek diskriminasi ?
3.      Apakah ada penolakan untuk melakukan hubungan usaha yag dilakukan oleh pelaku usaha secara sendiri maupun bersama dengan pelaku usaha yang lain terhadap pihak lain ?
4.      Apakah ada perlakuan yang tidak sama yang dilakukan oleh pelaku usaha secara sendiri maupun bersama dengan pelaku usaha lain terhadap pihak lain ?

Penggunaan unsur-unsur ini sangat penting dalam membedakan praktek-praktek diskriminasi yang melanggar persaingan usaha yang sehat dengan diskriminasi yang tidak melanggar persaingan usaha yang sehat. Putusan-putusan KPPU hendaknya telah memenuhi semua unsur-unsur diskriminasi pada pasal 19 huruf (d) 1999 yang dijabarkan pada peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2011 tentang pedoman pasal 19 huruf (d) (praktek diskriminasi). Melihat kenyataan yang ada dalam dunia usaha dimana praktek-praktek diskriminasi masih terjadi, maka dipandang perlu KPPU menambah putusan-putusannya sehingga bertambah pula yurisprudensi yang dapat digunakan dalam memutuskan kasus-kasus yang berhubungan dengan pelanggaran pasal 19 huruf (d) Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang praktek diskriminasi.

What is a contract?

A contract is an agreement between two or more persons which will be enforced by a court of law. A contract can be in writing, oral or partly written and partly oral. There are four elements in contract must be fulfilled. There are: 1. offer; 2. acceptance; 3. intention; 4. consideration. Offer is willingness of one person to another to enter into a contract with him/her on certain terms. In other words, when a reasonable person is willing to be bound in a court of law, offer exists. To make it clear about the offer means, the concept of offer is used to distinguish between: - an offer and merely indicating a possible course of future conduct; - an offer and an invitation to treat; - an offer and conduct that is merely part of the negotiations. Second element is what is an acceptance? Acceptance is only valid when it has been properly communicated. One of the elements of a valid offer and acceptance is certainty. Next element is intention. Intention means the parties to the agreements must have intended their agreement to be legally enforceable. Lastly, consideration is a promise to do something or not to do something.