Pelanggaran
pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang persekongkolan tender
merupakan kasus yang paling sering ditangani oleh KPPU. Kasus tentang
persekongkolan tender berjumlah 18 kasus atau 46% dari 43 kasus yang ditangani
oleh KPPU dari tanggal 18 Agustus 2010
sampai dengan tanggal 18 November 2011. Dalam pasal 22 Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1999 menyatakan bahwa : Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan
pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Istilah persekongkolan
selalu berbau negatif. Hal ini karena persekongkolan bertentangan dengan
keadilan dimana kesempatan yang diperoleh oleh setiap penawar atau pengusaha
tidaklah sama dalam mendapatkan objek barang dan atau jasa yang ditawarkan atau
ditenderkan oleh panitia penyelenggara. Persekongkolan membatasi
pengusaha-pengusaha yang mempunyai niat yang baik untuk menawar untuk masuk
dalam pasar serta akibat dari persekongkolan adalah harga menjadi tidak
kompetitif.
Persekongkolan
tender merupakan pelanggaran yang dapat merugikan negara. Mengapa ? Karena
banyak persekongkolan tender yang terjadi saat ini dilakukan anatara oknum-oknum
pegawai pemerintahan yang bertindak sebagai panitia penyelenggara tender dengan
para pemenang tender atau pengusaha yang memang sengaja dimenangkan. Kerugian
pada negara terjadi karena dana APBN maupun dana APBD untuk menunjang kegiatan
pembangunan yang dikeluarkan tidak bertanggung jawab dan hasil dari
persekongkolan tender tersebut adalah kedua-duanya baik oknum panitia
penyelenggara maupun pemenang tender memperoleh keuntungan. Persekongkolan
tender pada akhirnya mempengaruhi kualitas pembangunan yang dilaksanakan oleh
pengusaha pemenang tender dimana biaya yang diperoleh untuk melaksanakan
kegiatan pembangunan telah berkurang akibat adanya biaya-biaya yang harus
dikeluarkan kepada pihak lain untuk mencapai tujuannya yaitu untuk memenangkan
tender.
Dalam
hukum persaingan dikenal adanya dua pendekatan, yang pertama adalah per se illegal dan rule of reason. Pendekatan perse illegal dalam pembuktiannya lebih
mudah dilakukan karena apabila suatu aktivitas maksud atau tujuannya mempunyai
akibat merusak persaingan maka hakim tidak perlu lagi mempermasalahkan apakah
masuk akal atau tidak dari peristiwa yang sama sebelum menentukan bahwa
peristiwa tersebut merupakan pelanggaran hukum persaingan. Dengan kata lain,
perjanjian atau perbuatan yang dilarang dalam per se illegal ditentukan oleh aktivitas yang jelas dilarang,
maksud atau tujuan yang dilarang tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan
dari perbuatan tersebut.
Pendekatan
kedua adalah rule of reason yaitu
perjanjian atau kegiatan yang dilarang dimana perbuatan atau kegiatan tersebut
menghambat persaingan secara tidak patut atau apabila karakteristik bunyi pasal
mempunyai tujuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha yang tidak sehat. Pendekatan menggunakan Rule of Reason memang lebih rumit dibandingkan dengan per se illegal karena pembuktian
terjadinya praktek monopoli atau persaingan tidak sehat harus memperhatikan
semua faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain pencari fakta harus
mempertimbangkan dan menentukan apakah
perbuatan tersebut menghambat persaingan dengan menunjukkan akibatnya
terhadapa proses persaingan dan apakah perbuatan itu tidak adil atau mempunyai
pertimbangan lain. Pertimbangan yang dimaksud antara lain: pertimbangan
ekonomi, keadilan, efisiensi, perlindungan terhadap golongan ekonomi tertentu,
fairness, pembuktian yang rumit dan lain sebagainya.
Dalam
pembuktian dan penyelidikan pada kasus persekongkolan tender pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan Rule of
Reason. Penggunaan pendekatan ini memaksa KPPU untuk membuktikan ada atau
tidaknya dampak dari persekongkolan tender itu menghambat persaingan secara
tidak patut atau mempunyai tujuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha
yang tidak sehat.
Putusan
Majelis KPPU tahun 2004 tentang Tender Penjualan Dua Unit Tanker Pertamina
menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero), Goldman Sachs (Singapore) Pt,
Frontline Ltd dan PT Perusahaan Pelayaran Equinox terbukti melanggar pasal 22 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999. Majelis Komisi berpendapat bahwa pihak-pihak terlapor
memenuhi unsur-unsur dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu:
1.
Pelaku
usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara RI baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi
(Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999);
2. Bersekongkol adalah bentuk kerjasama yang dilakukan
oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar
bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (Pasal 1 angka 8
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999;
3. Pihak lain yaitu salah satu atau lebih dari pelaku
usaha yang melakukan persekongkolan dengan salah satu atau lebih pelaku usaha;
4. Mengatur dan atau menentukan pemenang yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para
pelaku usaha dalah dalam rangka mengatur salah satu pelaku usaha memenangkan
tender;
5. Tender yaitu tawaran untuk mengajukan harga untuk
memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk
menyediakan jasa (pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999)
6. Mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur
atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha (Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
Adapun sanksi
yang dikenakan kepada yang melanggar pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
adalah pelaku usaha diperintahkan oleh Majelis Komisi untuk membayar ganti
rugi. Penegakan hukum oleh KPPU pada kasus-kasus persekongkolan tender
sangatlah sulit karena pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rule of reason. Oleh sebab itu, perlu
adanya review terhadap setiap putusan
yang dibuat oleh Komisi Majelis sehingga KPPU dapat menganalisa pendekatan
manakah yang sesuai digunakan apakah pendekatan Rule Of Reason atau Per Se
Illegal. Maka putusan-putusan KPPU tentang pelanggaran pasal 22
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 haruslah ditambah agar kedepan akan semakin
kelihatan pendekatan mana yang lebih cocok diterapkan pada kasus-kasus
persekongkolan tender.
Menyangkut sanksi yang dijatuhkan
kepada para pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran pasal 19 huruf d
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu membayar denda menimbulkan satu
pertanyaan : Bagaimana seandainya pelaku usaha yang diwajibkan membayar denda
tersebut usaha atau perusahaannya dalam kondisi pailit atau bangkrut ? Apakah
ada sanksi pengganti seperti yang dikenal dalam kasus-kasus korupsi yakni
selain dikenakan denda juga ada kurungan badan ? atau ada sanksi yang lain yang
diberikan KPPU kepada pelaku usaha tersebut ?
Melihat situasi
diatas persekongkolan tender dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana
karena mengandung unsur merugikan negara. Oleh karena itu, perlu adanya
pengkajian dan pengembangan ilmu hukum secara teoritis dalam hukum persaingan
usaha khususnya pada kasus-kasus persekongkolan tender yang memiliki potensi
mengakibatkan kerugian negara.
Dari penjelasan diatas, maka
seyogyanya KPPU terus melakukan review terhadap putusan-putusan yang berkaitan dengan
Pasal 19 huruf (d) dan pasal 22 karena putusan KPPU adalah yurisprudensi atau sebagai sumber hukum yang digunakan untuk
mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan pasal 19 huruf (d) dan pasal
22. Selain itu faktor penting dan
menentukan yang harus dilakukan KPPU adalah bagaimana KPPU menjaga setiap
putusan yang telah ditetapkan oleh Majelis Komisi pada tingkat I mendapat
dukungan dari Mahkamah Agung sehingga dapat memperkuat setiap putusan-putusan
tersebut. Karena bukanlah perkara mudah bagi KPPU membuat jera para pelaku
usaha yang nakal terlebih dengan kekuatan finansial yang dimiliki oleh setiap
pelaku usaha tersebut. Oleh karena itu kerjasama antara KPPU, MA dan juga dari
aparat kepolisian serta lembaga hukum lain yang terkait memegang peranan penting
dalam memberantas praktek-praktek diskriminasi dan persekongkolan tender yang
jelas-jelas melanggar persaingan usaha yang sehat.