Undang-undang nomor 5 tahun 1999 bertujuan mendorong
efisiensi ekonomi dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia dengan melarang keras adanya praktek-praktek
persaingan usaha yang tidak sehat serta praktek monopoli. Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
“penguasaan pasar” menegaskan bahwa Pelaku
usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
- menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
- menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
- membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;atau
- melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu
Dalam pasal 19
yang dimaksud pelaku-pelaku usaha adalah mereka yang mempunyai pengaruh kuat
terhadap pasar yang dengan kekuatannya memudahkan melakukan praktek monopoli
dan atau persaingan usaha yang tidak sehat. Kedua, pelaku usaha yang melakukan kegiatan baik secara
sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama dengan pelaku usaha lain. Pasal 19
huruf (d) melarang adanya praktek-praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha
dimana diskriminasi tidak hanya pada harga tetapi juga dalam bentuk penolakan untuk
melakukan hubungan usaha, dan atau perlakuan yang dilakukan oleh pelaku usaha
kepada pelaku usaha yang lain dengan cara yang tidak sama.
Putusan
pada kasus pengadaan 20 (dua puluh) unit Lokomotif CC 204 Tahun 2010 dapat
dilihat bahwa telah terjadi praktek diskriminasi yang dilakukan oleh PT Kereta
Api (Persero) dengan memberikan perlakuan khusus kepada GE transportation dan memberikan perlakuan berbeda kepada pihak
lain dalam pengadaan lokomotif di PT Kereta Api ( Persero). Indikator yang
memenuhi adanya praktek diskriminasi pada kasus ini adalah adanya pelaku usaha
yang memiliki posisi dominan atau memiliki pengaruh kuat terhadap pasar; adanya
penolakan untuk menjalin hubungan usaha dengan pelaku usaha lain selain dengan
GE Transportation. Akibat dari perbuatan diskriminasi yang dilakukan oleh PT
Kereta Api (Persero) adalah perusahaan wajib membayar denda. Hal ini berbeda
dengan Putusan pada kasus distribusi gula pasir dimana Majelis Komisi
berpendapat bahwa PTPN XI, PT Agro Tani Nusantara, PT.Agro Makmur Nusantara,cs.
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 19 huruf (a) dan (d) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999. Dalam kasus ini pihak yang melapor terbukti tidak pernah
ditunjuk untuk menjadi investor oleh asosiasi petani karena tidak memenuhi
persyaratan untuk menjadi investor yang ditetapkan oleh asosiasi tersebut.
Berdasarkan
putusan yang dibuat oleh Majelis Komisi kepada kedua kasus diatas, dapat dikatakan
bahwa usaha untuk membuktikan bahwa praktek diskriminasi telah terjadi sangatlah
tergantung kepada setiap kasus. Putusan-putusan atau yurisprudensi yang telah
berkekuatan hukum tetap menjadi faktor penting.. Pertimbangan Majelis Komisi
mengenai asas keseimbangan dimana baik kepentingan dari pelaku usaha yang
didiskriminasi dan kepentingan dari pelaku usaha yang mendiskriminisasi
seimbang sangatlah diperlukan. Karena mau tidak mau, suka tidak suka, praktek
diskriminasi dalam dunia usaha tidak dapat terhitung lagi. Beberapa contoh
praktek-praktek diskriminasi menurut Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2011 adalah :
1. Penunjukan langsung;
2. Menolak melakukan hubungan usaha dengan pihak
tertentu tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya
yang dapat diterima;
3. menetapkan persyaratan tertentu yang mengarah
kepada perusahaan tertentu tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan
alasan lainnya yang dapat diterima;
4. menetapkan syarat yang berbeda untuk pelaku usaha
yang berbeda dalam pasar yang sama tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi,
teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima;
5. Menetapkan syarat yang sama untuk pelaku usaha yang secara ekonomi berbeda kelas.
Unsur-unsur
praktek diskriminasi yang harus dipenuhi yang melanggar persaingan usaha yang
sehat yang dilakukan baik oleh penjual barang atau jasa (supplier) maupun oleh
pelaku usaha yang membeli barang atau jasa tersebut menurut pasal 19 huruf (d)
yaitu:
1.
apakah
pelaku usaha baik secara sendiri maupun bersama dengan pelaku usaha lain
memiliki pengaruh kuat terhadap pasar ?
2.
apakah
dengan pengaruh yang kuat terhadap pasar pelaku usaha baik secara sendiri
maupun bersama dengan pelaku usaha lain telah menimbulkan praktek-praktek diskriminasi
?
3.
Apakah
ada penolakan untuk melakukan hubungan usaha yag dilakukan oleh pelaku usaha
secara sendiri maupun bersama dengan pelaku usaha yang lain terhadap pihak lain
?
4.
Apakah
ada perlakuan yang tidak sama yang dilakukan oleh pelaku usaha secara sendiri
maupun bersama dengan pelaku usaha lain terhadap pihak lain ?
Penggunaan
unsur-unsur ini sangat penting dalam membedakan praktek-praktek diskriminasi
yang melanggar persaingan usaha yang sehat dengan diskriminasi yang tidak
melanggar persaingan usaha yang sehat. Putusan-putusan KPPU hendaknya telah
memenuhi semua unsur-unsur diskriminasi pada pasal 19 huruf (d) 1999 yang
dijabarkan pada peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2011 tentang pedoman pasal 19 huruf
(d) (praktek diskriminasi). Melihat kenyataan yang ada dalam dunia usaha dimana
praktek-praktek diskriminasi masih terjadi, maka dipandang perlu KPPU menambah
putusan-putusannya sehingga bertambah pula yurisprudensi yang dapat digunakan
dalam memutuskan kasus-kasus yang berhubungan dengan pelanggaran pasal 19 huruf
(d) Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang praktek diskriminasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar