Rabu, 13 Maret 2013

Pasal 19 huruf (d) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999


Undang-undang nomor 5 tahun 1999 bertujuan mendorong efisiensi ekonomi dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia dengan  melarang keras adanya praktek-praktek persaingan usaha yang tidak sehat serta praktek monopoli.  Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang “penguasaan pasar” menegaskan bahwa Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
  1. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
  2. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
  3. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;atau
  4. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu
Dalam pasal 19 yang dimaksud pelaku-pelaku usaha adalah mereka yang mempunyai pengaruh kuat terhadap pasar yang dengan kekuatannya memudahkan melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat. Kedua, pelaku usaha  yang melakukan kegiatan baik secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama dengan pelaku usaha lain. Pasal 19 huruf (d) melarang adanya praktek-praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha dimana diskriminasi tidak hanya pada harga tetapi juga dalam bentuk penolakan untuk melakukan hubungan usaha, dan atau perlakuan yang dilakukan oleh pelaku usaha kepada pelaku usaha yang lain dengan cara yang tidak sama.
Putusan pada kasus pengadaan 20 (dua puluh) unit Lokomotif CC 204 Tahun 2010 dapat dilihat bahwa telah terjadi praktek diskriminasi yang dilakukan oleh PT Kereta Api (Persero) dengan memberikan perlakuan khusus kepada GE transportation  dan memberikan perlakuan berbeda kepada pihak lain dalam pengadaan lokomotif di PT Kereta Api ( Persero). Indikator yang memenuhi adanya praktek diskriminasi pada kasus ini adalah adanya pelaku usaha yang memiliki posisi dominan atau memiliki pengaruh kuat terhadap pasar; adanya penolakan untuk menjalin hubungan usaha dengan pelaku usaha lain selain dengan GE Transportation. Akibat dari perbuatan diskriminasi yang dilakukan oleh PT Kereta Api (Persero) adalah perusahaan wajib membayar denda. Hal ini berbeda dengan Putusan pada kasus distribusi gula pasir dimana Majelis Komisi berpendapat bahwa PTPN XI, PT Agro Tani Nusantara, PT.Agro Makmur Nusantara,cs. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 19 huruf (a) dan (d) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam kasus ini pihak yang melapor terbukti tidak pernah ditunjuk untuk menjadi investor oleh asosiasi petani karena tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi investor yang ditetapkan oleh asosiasi tersebut.
Berdasarkan putusan yang dibuat oleh Majelis Komisi kepada kedua kasus diatas, dapat dikatakan bahwa usaha untuk membuktikan bahwa praktek diskriminasi telah terjadi sangatlah tergantung kepada setiap kasus. Putusan-putusan atau yurisprudensi yang telah berkekuatan hukum tetap menjadi faktor penting.. Pertimbangan Majelis Komisi mengenai asas keseimbangan dimana baik kepentingan dari pelaku usaha yang didiskriminasi dan kepentingan dari pelaku usaha yang mendiskriminisasi seimbang sangatlah diperlukan. Karena mau tidak mau, suka tidak suka, praktek diskriminasi dalam dunia usaha tidak dapat terhitung lagi. Beberapa contoh praktek-praktek diskriminasi menurut Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2011 adalah :
1.      Penunjukan langsung;
2.      Menolak melakukan hubungan usaha dengan pihak tertentu tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima;
3.      menetapkan persyaratan tertentu yang mengarah kepada perusahaan tertentu tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima;
4.      menetapkan syarat yang berbeda untuk pelaku usaha yang berbeda dalam pasar yang sama tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima;
5.      Menetapkan syarat yang sama untuk pelaku usaha  yang secara ekonomi berbeda kelas.
Unsur-unsur praktek diskriminasi yang harus dipenuhi yang melanggar persaingan usaha yang sehat yang dilakukan baik oleh penjual barang atau jasa (supplier) maupun oleh pelaku usaha yang membeli barang atau jasa tersebut menurut pasal 19 huruf (d) yaitu:
1.      apakah pelaku usaha baik secara sendiri maupun bersama dengan pelaku usaha lain memiliki pengaruh kuat terhadap pasar ?
2.      apakah dengan pengaruh yang kuat terhadap pasar pelaku usaha baik secara sendiri maupun bersama dengan pelaku usaha lain telah menimbulkan praktek-praktek diskriminasi ?
3.      Apakah ada penolakan untuk melakukan hubungan usaha yag dilakukan oleh pelaku usaha secara sendiri maupun bersama dengan pelaku usaha yang lain terhadap pihak lain ?
4.      Apakah ada perlakuan yang tidak sama yang dilakukan oleh pelaku usaha secara sendiri maupun bersama dengan pelaku usaha lain terhadap pihak lain ?

Penggunaan unsur-unsur ini sangat penting dalam membedakan praktek-praktek diskriminasi yang melanggar persaingan usaha yang sehat dengan diskriminasi yang tidak melanggar persaingan usaha yang sehat. Putusan-putusan KPPU hendaknya telah memenuhi semua unsur-unsur diskriminasi pada pasal 19 huruf (d) 1999 yang dijabarkan pada peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2011 tentang pedoman pasal 19 huruf (d) (praktek diskriminasi). Melihat kenyataan yang ada dalam dunia usaha dimana praktek-praktek diskriminasi masih terjadi, maka dipandang perlu KPPU menambah putusan-putusannya sehingga bertambah pula yurisprudensi yang dapat digunakan dalam memutuskan kasus-kasus yang berhubungan dengan pelanggaran pasal 19 huruf (d) Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang praktek diskriminasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar